Tuesday, January 14, 2014

JUAL BELI DALAM ISLAM



BAB I
PEMBAHASAN

A.    Makna Jual beli
Jual beli artinya menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain,  Definisi menurut syara’ yang di maksud jual beli ialah tukar menukar harta secara suka sama suka atau memindahkan milik dengan mendapat tukar menukar cara yang di izinkan agama. Sedangkan menurut bahasa artinya menukar atau menjual. Jual beli adalah muamalah yang di perintahkan oleh allah bagi para hambanya, sebagai sarana memperoleh rizkinya dan sebagai sarana mencari keuntungan. Secara terminologi jual beli dapat di definisikan sebagai berikut:
  • Menukar barang dengan barang atau barang  dengan uangdenga jalan melepaskan hak milik yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan (idris ahmad, fiqih al-syafi’iyah : 5)
  • Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik  dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan.
  • Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta atas harta, maka terjadilah penukaran hak milik secara tetap.(Hasbi Ash-Shiddiqi, peng.Fiqh muamalah :97)
 Adapun beberapa ulama mendefinisikan  jual beli sebagai berikut; Menurut ulama hanafiyah “saling menukarkan harta dangan harta melalui cara tertentu.” atau tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.”
1
Unsur-unsur definisi yang dikemukakan oleh ulama hanafiyah tersebut adalah, bahwa yang dimaksud dengan cara yang khusus adalah ijab dan kabul, atau juga bisa saling memberikan barang dan menetapkan harga antara penjual dan pembeli. Selain itu harta yang diperjualbelikan itu harus bermanfaat bagi manusia, seperti menjual bangkai, minuman keras dan darah itu tidak dibenarkan.
Menurut said sabiq jual beli adalah saling menukar harta dengan harta atas dasar suka sama suka.
Menurut Imam An-Nawawi jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan kepemilikan.
Menurut Abu Qudamah jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.
 Dari beberapa definisi tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwasanya jual beli adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak dengan cara suka rela sehingga keduanya dapat saling menguntungkan, maka akan terjadilah penukaran hak milik secara tetap dengan jalan yang dibenarkan oleh syara’.Yang dimaksud sesuai dengan ketetapan hukum adalah memenuhu persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dalam jual beli, maka jika syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan ketentun syara’. Yang dimaksud benda dapat mencakup pengertan barang dan uang dan sifatnya adalah bernilai. Adapun benda-benda seperti alkohol, babi, dan barang terlarang lainnya adalah haram diperjual belikan. Bahwasanya Rasullullah bersabda :
Artinya : Dari jabir Rasulullah bersabda Sesungguhnya Allah dan Rasulnya mengharamkan jual beli arak, bangkai, babi, dan berhala. (HR. Jabir Ibn Abdillah)

B.      Landasan hukum
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama manusia mempunyai landasan yang amat kuat dalam islam.
Dalam Al-quran Allah berfirman:
¨… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…
(QS.Al-baqarah:275)
Firman Allah SWT:
 Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…
(QS.Al-baqarah:198)
 Firman Allah SWT:
…kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu
(QS.An-nisa:29)
Firman Allah SWT:
… dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli…
(QS.Al-Baqarah:282)
Dalam sabda Rasulullah SAW disebutkan:
Nabi Muhammad SAW.pernah ditanya: apakah profesi yang paling baik? Rasulullah menjawab: “usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual-beli yang diberkati”. (HR. Al-Barzaar dan Al-Hakim)

C.     Rukun
Mengenai rukun dan syarat jual beli, para ulama memiliki perbedaan pendapat. Menurut mahzab hanafi rukun jual beli hanya ijab dan kabul saja. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli hanyalah kerelaan antara kedua belah pihak untuk berjual beli.
Menurut jumhur ulama rukun jual beli ada empat:
  1. Orang yang berakad (Penjual dan pembeli)
  2. Sighat (lafal ijab dan kabul)
  3. Benda-benda yang diperjual belikan
  4. Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut mahzab hanafi orang yang berakad, barang yang dibeli dan nilai tukar barang termasuk syarat bukan rukun.

D.     Syarat-syarat jual beli
Menurut jumhur ulama, bahwa syarat jual beli sama dengan rukun jual beliyang disebutkan di atas adalah sebagai berikut:
1). Syarat orang yang berakad
1.      Berakal
2.      Orang yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Maksudnya, seseorang tidak dapat bertindak sebagai pembeli dan penjual dalam waktu yang bersamaan.
2). Syarat yang terkait dengan ujab kabul
a. orang yang mengucapkannya telah akil baligh dan berakal.
b. kabul sesuai dengan ijab.
c. ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis.
3). Syarat yang diperjual belikan
a.       barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
b.      Dapat dimanfaatkan atau bermanfaat bagi manusia.
c.       Jelas orang yang memiliki barang tersebut.
d.      Dapat diserahkan pada saat akad berlangsung, atau pada waktu yang telah disepakati bersama ketika akad berlangsung.
4). Syarat nilai tukar (harga barang)
a.       Harga yang disepakati oleh kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b.      Dapat diserahkan pada saat waktu akad (transaksi).
c.       Bila jual beli dilakukan dengan cara barter, maka barang yang dijadikan nilai tukar, bukan barang yang diharamkan syara’.

E.     Macam-macam dan Bentuk jual beli :
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu:
  1. Jual beli ditinjau dari  syah atau tidaknya:
a.       Jual beli yang sahih
Apabila jual-beli itu disyariatkan, memenuhi rukun atau syarat yang di tentukan, barang itu bukan milik orang lain, dan tidak terkait dengan khiyar lagi, maka jual beli itu sahih dan mengikat kedua belah pihak. Umpamanya, seseorang membeli suatu barang. Seluruh rukun dan syarat jual-beli telah terpenuhi. Barangitu juga telah di periksa oleh pembeli dan tidak ada cacat, da tidak ada rusak. Uang yang sudah diserahkan dan barangpun sudah diterima dan tidak ada lagi khiyar.
b.      Jual beli batil
Apabila pada jual-beli itu salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak di syariatkan, maka jual beli itu batil.umpamanya, jual beli yang dilkukan oleh anak-anak, orang gila, atau barang-barang yang di jual itu barang-barang yang di harapkan syara(bangkai, darah, babi dan khamar).
1)      Barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti babi, berhala dan lainnya.
2)      Jual beli sperma atau mani hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina agar dapat memperoleh turunan.
3)       Jual beli dengan muh{abarah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen.
4)       Jual beli dengan mulal)
5)       Jual beli garar, yaitu jual beli yang samar sehingga kemungkinan terjadi penipuan.
c.       Jual beli fasid
Ulama mazhab hanafi memedakan jual beli fasid dan jual beli batil. Sedangkan jumhur ulama tidak membedakan jual beli fasid dengan jual beli batil. Menurut mereka jual beli itu terbagi dua, yaitu jual beli yang sahih dan jual beli yang batil.
Apabila rukun dan syrat jual beli terpenuhi, maka jual beli itu sahih. Sebaliknya apabila suatu rukun atau syarat jual beli tidak terpenuhi maka jual beli itu batil.
Menurut mazhab hanafi jual beli fasid antar lain
1)      Jual beli al-majhl yaitu benda atau barang secara gelobal tidak di ketahui.
2)      Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat, seperti ucapan penjual kepada pembeli:” saya jual mobil saya ini kepadda anda bulan depan setelah mendapat gaji
3)      Menjual barang yang gaib yang tidak di ketahui pada saat jual beli berlangsung, sehingga tidak dapat dilihat oleh pembeli
4)      Jual beli yang dilakukan orang buta
5)      Barter barang dengan barang yang diharamkan
6)      Jual beli al-ajl
Contoh: seseorang menjual barangnya senilai Rp100.000 dengan pembayarannya di tunda selama sebulan, setelah penyerahan barang kepada pembeli, pemilik barang pertama membeli kembali barang tersebut dengan harga yang lebih rendah misalnya Rp 75.000 sehingga pembeli pertama tetap berhutang sebesar Rp 25.000.
  1. Dari segi objek jual beli dan segi pelaku jual beli
Ditinjau dari segi benda yang yang dijadikan obyek jual beli dapat dikemukakan pendapat imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagai menjadi tiga bentuk :
a.       jual beli benda yang kelihatan
maksudnya adalah pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada didepan penjual dan pembeli, seperti membeli beras dipasar  dan boleh dilakukan.
b.      Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji
Sama dengan jual beli salam (pesanan), ataupun yang dilakukan secara tidak tunai (kontan). Maksudnya ialah perjanjian sesuatu yang penyarahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu.
Dalam salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahannya ialah :
1)   Ketika melakukan akad salam disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar, ditimbang maupun diukur.
2)   Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bias mempertinggi dan memperendah harga barang itu.
3)   Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang biasa didapat dipasar.
     Harga hendakya dipegang ditempat akad berlangsung.
c.        Jual beli benda yang tidak ada
Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli yang dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak tentu atau masih gelap sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.
  1. Ditinjau dari segi pelaku akad (subyek), jual beli terbagi menjadi 3 yaitu:
a.       Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Bagi orang bisu diganti dengan isyarat, karena isyarat merupakan pembawaan alami dalam menampakan kehendak.
b.       Penyampaian akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan, atau surat-menyurat sama halnya dengan ijab qabul dengan ucapan, misalnya via pos dan giro. Jual beli seperti ini dibolehkan syara’.
c.        Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal dengan istilah mu’ab dan qabul.
Dalam fiqh muamalah, telah diidentifikasi dam diuraikan macam-macam jual beli, termasuk jenis jual beli yang dilarang umat islam. Macam atau jenis jual beli itu antara lain:
a.       Bai’ al mutlaqah yaitu pertukaran barang atau jasa dengan uang. Uang berperan sebagai alat tukar. Jual beli semacam ini menjiwai semua produk-produk lembaga keuangan yang didasarkan atas prinsip jual beli.
b.       Bai’ al muqayyadah yaitu jual beli dimana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter). Aplikasi jual beli semacam ini dapat dilakukan sebagai jaln keluar bagi transaksi eksport yang tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilakukan pertukaran barang dengan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut counter trade.
c.        Bai’ al sharf yaitu jual beli atau pertukaran antara satu mata uang asing dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah denga dolar, dolar dengan yen dan sebagaimya. Mata uang asing yang diperjual belikan itu dapat berupa uang kartal (bank notes) atau berupa uang giral (telegrafic transfer atau mail transfer).
d.      Bai’ al murabahah adalah akad jual beli barang tertentu dalam transaksi jual beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual belikan, ternasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.
e.        Bai’ al musawamah adalah jual beli biasa, dimana penjual tidak memberi tahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya.
f.       Bai’ al muwadha’ah yaitu jual beli dimana penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan untuk barang-narang atau aktifa tetap yang nilai bukunya sudah sangat rendah.
g.       Bai’ as salam adalah akad jual beli dimana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjual belikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai’ as salam biasanya dilakukan untuk produk-produk pertanian jangka pendek.
h.       Bai’ al istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam yaitu kontrak jual beli dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tetapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian.
Diantara jenis-jenis jual beli tersebut, yang lazim digunakan sebagai modal pembiayaan syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip bai al murabahah, bai’ as salam dan bai’ al istishna’.

F.       Jual Beli Yang Dilarang dan batal hukumnya
1.      Barang yang di hukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi, berhala, bangkai, dan khamar
Rosulullah saw bersabda:
Sesungguhnya allah dan rosulnya telah mengharamkan menjual arak, bangkai, babi, dan berhala
2.      Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina agar dapat memperoleh turunan jual beli ini haram hukumnya karena Rosulullah saw bersabda:
“dari ibnu umar ra, berkta; Rosulullah saw telah melarang menjual mani”
3.      Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya. Jual beli seperti ini dilarang karena barangnya belum ada dan tidak tampak
4.      Jual beli dengan muhaqallah (menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau sawah) hal ini di larang agama sebab ada persangkaan riba di dalamnya
5.      Jual beli dengan mukhadharah yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas di panen
6.      Jual beli dengan muammassah yaitu jual beli secara sentuh menyentuh
7.      Jual beli dengan munabadzah yaitu jual beli secara lempar melempar
8.      Jual beli dengan muzabanah yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering
9.      Menentukan dua harga untuk satu barang yang di perjual belikan
10.   Jul beli dengan syarat (iwadh mahjul)
11.   Jual beli gharar yaitu jual beli yang samar sehingga ada kemungkinan terjadi penipuan
12.  Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang di jual
13.  Larangan menjual makanan hingga dua kali di takar

G.    Perilaku yang mencerminkan kepatuhan terhadap hukum jual beli dengan adanya praktek jual beli, maka akan menimbulkan sikap antara lain sebagai berikut:
1.      Menumbuhkan dan membina ketentraman jiwa dan kebahagiaan sebab dengan memperoleh keuntungan atau laba maka akan terpenuhi hayat hidup sehari-hari seperti sandang, pangan, dan papan
2.      Dengan memperoleh keuntungan maka nafkah untuk keluarga akan terpenuhi yang merupakan suatu tanggung jawab yang harus di laksanakan
3.      Mencegah atau menolak kemungkaran dengan adanya usaha seperti berdagang berarti mengkondisikan kehidupan sosial yang lebih sejahtera, sehingga penyakit yang ada pada masyarakat dapat berkurang seperti kasus pencurian, perampokan atau bahkan korupsi
4.      Sebagai sarana ibadah, dengan memperoleh keuntungan maka seseorang muslim di anjurkan untuk berinfak, shodaqoh atau zakat
5.     Jual beli dapat pula dijadikan suatu profesi sehingga dapat menghilangkan sifat yang tidak baik misalnya malas bekerja dan tidak peuli pada sesama

H.    Hikmah dan anjuran jual beli
Adapun hikmah dibolehkannya jual-beli itu adalah menghindarkan manusia dari kesulitan dalam bermuamalah dengan hartanya. Seseorang memiliki harta di tangannya, namun dia tidak memerlukannya. Sebaliknya dia memerlukan suatu bentuk harta, namun harta yang diperlukannya itu ada ditangan orang lain. Kalau seandainya orang lain yang memiliki harta yang diingininya itu juga memerlukan harta yang ada di tangannya yang tidak diperlukannya itu, maka dapat berlaku usaha tukar menukar yang dalam istilah bahasa Arab disebut jual beli.












  

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat pemakalah simpulkan bahwa:
Jual beli adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak dengan cara suka rela sehingga keduanya dapat saling menguntungkan, maka akan terjadilah penukaran hak milik secara tetap dengan jalan yang dibenarkan oleh syara’.Yang dimaksud sesuai dengan ketetapan hukum adalah memenuhu persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dalam jual beli, maka jika syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan ketentun syara’.

B.     Saran
Untuk umat muslim di seluruh belahan dunia agar melaksanakan jual beli berdasarkan hukum, rukun dan syarat yang telah di tentukan agar terhindar dari riba dan mendapat keridhoan Allah.

11